Kamis, 09 Juni 2016

makalah tugas tugas pokok para teolog



ILMU TAUHID/ILMU KALAM
“TUGAS TUGAS POKOK PARA TEOLOG”

Yang diasuh oleh : Mislaiana,M.Pd.I

logo_iain_raden_intan_bandar_lampung.jpg


DISUSUN OLEH

 1.MUDIRUL ACHMAD PONJA (1511080089)
 

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
IAIN RADEN INTAN LAMPUNG

1437 H/ 2015 M

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat ALLAH SWT, yang telah senantiasa melimpahkan Rahmat dan Hidayah nya sehingga kita semua dalam keadaan sehat walafiat dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Penyusun juga panjatkan kehadiran ALLAH SWT, karena hanya dengan keridoan nya Makalah dengan judul “TUGAS TUGAS POKOK PARA TEOLOG” ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari betul sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, makalah ini tidak akan terwujud dan masih jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis berharap saran dan kritik demi perbaikan-perbaikan lebih lanjut.

Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi yang membutuhkan.

Bandar lampung,13 Oktober 2015

                                                                                         
                                   
                                                                    penulis        







DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................i
KATA PENGANTAR........................................................................................ .ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
            A.LATAR BELAKANG..........................................................................1
            B.RUMUSAN MASALAH......................................................................2
            C.TUJUAN PENULISAN.......................................................................2
            D.MANFAAT PENULISAN...................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
            1.PEMIKIRAN PEMIKIRAN HARUN NASUTION.........................3
            2.TUGAS POKOK AJARAN ISLAM MENURUT HARUN NASUTION.............................................................................................5
            3.PEMIKIRAN PEMIKIRAN M.H. RASYIDIN...............................6
            4.PEMIKIRAN KALAM ISMAIL AL FARUQI...............................7
            5.POKOK POKOK PEMIKIRAN AL FARUQI................................9
            6.PENDEKATAN PARA TEOLOG SEBAGAI TUGAS POKOK..................................................................................................11
BAB III PENUTUP
            KESIMPULAN....................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................18


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG

Wafatnya Rasulullah SAW di tahun 632 M menyebabkan pergantian dan perebutan kekuasaan terus menerus,sebagai pengganti baginda Rosul SAW. Pergantian tersebut dimulai dari Abu Bakar, Umar Ibn al-Khattab, Usman Ibn ‘Affan, Ali Ibn Abi Thalib, dan Mu’awiyah. Pergantian kedudukan dari khalifah Ali Ibn Abi Thalib ke Mu’awiyah terjadi konon karena adanya kecurangan yang dilakukan Mu’awiyah. Karena adanya kecurangan inilah maka lahir golongan-golongan seperti khawarij, murji’ah, mu’tazilah, qadariyah dan jabariyah, serta ahli sunnah dan jama’ah. Dan dari sinilah lahir firqoh-firqoh yang mempunyai perbedaan disetiap langkah dan pikiran mereka, dan disinalah lahir bebapa paham tentang ketuhanan yang menyebabkan timbulnya permasalahan yang sering disebut oleh dosen-dosen sebagai permasalahan kalam atau teologi, yang kebenaranya dosenpun tidak tau.
Ilmu kalam atau teologi dari masa ke masa mengalami perkembangan yang cukup pesat, banyak tokoh-tokoh pemikir ilmu kalam bermunculan. Dan memiliki argumentasi yang berbeda-beda, sehingga persoalan-persoalan yang mengenai ilmu kalam atau teologi itu sendiri semakin serius untuk dibahas. Karena dari permasalahan tersebut akan memicu timbulnya pemikiran-pemikiran yang baru dan tanggapan dari berbagai tokoh-tokoh ilmu kalam itu sendiri.
Banyaknya tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang yang berbeda, maka banyak pula pemikiran-pemikiran dari mereka yang berbeda tentang permasalahan ilmu kalan ini.
Di dalam makalah sederhana pemakalah akan sedikit mengulas term-term kalam yang mengacu pada tugas tugas pokok dari pemikiran para teolog



B.     RUMUSAN MASALAH
1.      siapa saja tokoh teolog Islam yang pemikirannya termasuk dalam ilmu kalam ?
2.      bagaimana pemikiran mereka mengenai ilmu kalam tersebut ?

C. TUJUAN PENULISAN
1.      mengetahui tugas pokok para tokoh melalui pemikiran ilmu kalam masa kini.
2.      Mengetahui apa saja pendapat tokoh teolog Islam mengenai ilmu kalam masa kini.

D. MANFAAT PENULISAN
1.      dapat mengetahui tentang  pemikiran kalam
2.      dapat dijadikan referensi atau sumber rujukan bagi pembaca untuk pedoman dalam pembuatan makalah atau karya tulis lainnya














BAB II
PEMBAHASAN

TUGAS TUGAS POKOK PARA TEOLOG MELALUI PEMIKIRAN

1. Pemikiran-pemikiran Harun Nasution
a.    Peranan Akal
Bukanlah secara kebetulan bila Harun Nasution memilih problematika akal dalam system teologi Muhammad Abduh sebagai bahan kajian disertasinya di Universitas Mogill, Mentreal, Kanada. Besar kecilnya peranan akal dalam system teologi suatu aliran sangat menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis demikian: “Akal melambangkan kekuatan manusia”. Karena akallah manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggi pula kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah lemah pulalah kesanggupannya untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.[5]
Dalam sejarah Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, akan tetapi dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Pemikiran akal dalam Islam diperintahkan Al-Qur’an sendiri. Bukanlah tidak ada dasarnya apabila ada penulis-penulis, baik di kalangan Islam sendiri maupun di kalangan non-Islam, yang berpendapat bahwa Islam adalah agama rasional.[6]
b.     Pembaharuan Teologi
Teologi adalah ilmu yang mempelajari ajaran-ajaran dasar suatu agama. Dalam Islam, teologi disebut sebagai‘ilm al-kalam. Secara umum, pemikiran Harun tentang teologi rasional maksudnya adalah bahwa kita harus mempergunakan rasio kita dalam menyikapi masalah. Namun bukan berarti menyepelekan wahyu. Karena menurutnya, di dalam Al-Qur’an hanya memuat sebagian kecil ayat ketentuan-ketentuan tentang iman, ibadah, hidup bermasyarakat, serta hal-hal mengenai ilmu pengetahuan dan fenomena natur. Menurutnya, di dalam Al-Qur’an ada dua bentuk kandungan yaitu qath’iy al dalalah dan zhanniy al-dalalahQath’iy al dalalah adalah kandungan yang sudah jelas sehingga tidak lagi dibutuhkan interpretasi. Zhanniy al-dalalah adalah kandungan di dalam Al-Qur’an yang masih belum jelas sehingga menimbulkan interpretasi yang berlainan. Disinilah dibutuhkan akal yang dapat berpikir tentang semua hal tersebut. Dalam hal ini, keabsolutaan wahyu sering dipertentangkan dengan kerelatifan akal.[7]
Pandangan ini, serupa dengan pandangan kaum modernis lain pendahuluannya (Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, Al afghani, Said Amer dan lainnya) yang memandang  perlu untuk kembali kepada teologi islam sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat islam dengan teologi fatalistik, irasional, pre-deteminisme serta penerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan.
Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat islam, menurut Harun Nasution, umat islam hendaklah merubah teologi mereka menuju teologi yang berwatak, rasional serta mandiri. Tidak heran jika teori moderenisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khasanah islam klasik sendiri yakni teologi Mu’tazilah.[8]
c.     Hubungan akal dan wahyu
Salah satu fokus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan akal dan wahyu memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.[9]
Dalam pemikiran Islam, baik di bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan lain dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.


2. Menurut Harun Nasution, tugas pokok ajaran Islam dibagi menjadi 2, yaitu:
1)   Ajaran Islam yang bersifat dasar dan absolut
       Ajaran ini hanya sedikit, yakni 4 hal:
a)    Tidak boleh ada dalam pemikiran Islam bahwa Allah tidak ada.
b)   Tidak boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa Al-Qur’an bukan wahyu.
c)    Tidak boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa Muhammad bukan rasul Allah.
d)   Tidak boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa hari akhir tidak ada.
Malaikat menjadi perdebatan orang, takdir dan ikhtiar juga menjadi masalah dalam sejarah pemikiran Islam. Jadi, jika ada pemikiran Islam yang menyimpulkan menyimpang dari keempat hal tersebut, maka itu bukan pemikiran Islam lagi.

2)   Ajaran Islam yang bersifat pengembangan.
               Dalam pemikiran teologi Islam modern, seorang muslim dirangsang untuk berpikir rasional, yakni pemikiran Islam yang tidak takut pada falsafat, tidak merendahkan kemampuan akal, tidak sempit dan tidak dogmatis. Meski terkadang terjadi goncangan-goncangan pemikiran ketika mendiskusikan ilmu kalam, falsafat Islam, tasawuf dan pembaruan dalam Islam. Ketika mendiskusikan masalah kaitan perbuatan manusia dengan perbuatan atau penciptaan Tuhan, pada umumnya seorang muslim sudah memiliki pendirian bahwa paham Jabariah dan lawannya, Qadariah, adalah dua paham yang salah, dan meyakini adanya paham ketiga, yaitu paham kasab, yang diyakini benar, yang posisinya berada di tengah Jabariah dan Qadariah.
           
3. Pemikiran-pemikiran M. H. Rasyidin
Pemikiran kalam Rasyidi dapat ditelusuri dari kritika– kritikan yang ditujukan pada Harun Nasution Secara garis besar pemikiran kalamnya dapat dikemukakan sebagai berikut.[13]
a.    Tentang perbedaan ilmu kalam  dan teologi
Rasyidi menolak pandangan Harun Nasution yang menyamakan ilmu kalam dengan ilmu teologi yang dikemukakan oleh Harun Nasution menurut Rasyidi ada kesan bahwa ilmu Kalam adalah Teologi Islam dan Teologi adalah ilmu Kalam dalam Kristen. Menurutnya orang Barat memakai istilah Teologi untuk menunjukan tauhid atau kalam karena mereka tak memiliki istilah lain.
Teologi terdiri dua kata yaitu  (theo) artinya tuhan, dan logos artinya ilmu. Jadi teologi adalah ilmu tentang ketuhanan. Adapun sebab timbulnya Teologi dalam kristen adalah ketuhanan nabi isa, sebagian salah satu tri-tungal atau trinitas. Namun kata Teologi mengandung beberapa aspek agama Kristen, yang diluar kepercayaan (yang benar), sehingga teologi dalam Kristen tidak sama dengan ilmu  tauhid dan ilmu kalam. 
b.    Tema–tema ilmu Kalam
Salah satu tema ilmu Kalam Harun Nasution yang dikritik Rasyidi adalah Islam sekarang, khususnya Indonesia. Rasyidi berpendapat bahwa menonjolkan perbedaan antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah akan melemahkan iman para mahasiswa.
Memang tidak ada agama yang mengagungkan akal kecuali islam,tetapi dengan menggambarkan akal dapat mengetahui baik dan buruk, sedangkan wahyu membuat nilai yang dipikirkan manusia bersifat absolut - universal berarti meremehkan ayat Al- Quran Seperti, Wallahu ya’lamu wa antum la ta’lamu ( Dan Allah- lah yang Maha Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.”(Q.S. Al – Baqarah (2) :232).
Rasyidi menegaskan pada saat ini, di Barat akal dirasakan tidak lagi mampu mengetahu iman yang baik dan mana yang buruk. Buktinya adalah kemunculan Eksistensialisme sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme. Rasyidi juga mengakui bahwa soal- soal yang yang pernah diperbincangkan pada dua belas abad yang lalu, memang masih ada yang relevan pada masa sekarang, tetapi ada pula yang tidak  relevan dengan masa sekarang.[14]
c.    Hakikat iman
Bagian ini merupakan kritikan Rasyidi  terhadap deskripsi iman yang dikemukakan Nurcholis Madjid, yakni “ percaya dan menaruh kepercayaan  pada Tuhan.Dan apresiatif kepada Tuhan merupakan inti dari pengalaman seseorang. Sikap ini disebut Takwa.
Apresiasi ketuhanan menumbuhkan kesadaran Tuhan yang menyeluruh, sehingga menumbuhkan keadaan bersatunya hamba dengan Tuhan. Menanggapi pernyataan diatas  Rasyidi mengatakan bahwa iman bukan sekedar menuju bersatunya hamba dengan  Tuhannya, tetapi dapat dilihat dalam dimensi konsekuensial atau hubungan manusia dengan manusia dalam hidup bermasarakat.
Bersatunya manusia dengan Tuhanya bukan merupakan aspek yang mudah dicapai oleh karena itu yang lebih penting dari penyatuan adalah kepercayaan, ibadah,dan kemasyarakatan.[15]

4. ISMAIL FARUQI           
Pemikiran Kalam Ismail al Faruqi
Pemikiran kalam Ismail al Faruqi tertuang dalam karyanya yang berjudul Tauhid. Dalam karyanya ini beliau ini mengungkapkan bahwa syahadat menempati posisi sentral dalam kehidupan manusia baik dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim. Tauhid merupakan pandangan umum , Dalam menyoroti tentang tauhid sebagai prinsip ummat, al Faruqi membaginya kedalam tiga identitas, yakni: pertama, menenentang etnisentrisme yakni tata sosial Islam adalah universal mencakup seluruh ummat manusia tanpa kecuali dan tidak hanya untuk segelitir suku tertentu. Kedua, universalisme yakni Islam meliputi seluruh ummat manusia yang cita-cita tersebut diungkapkan dalam ummat dunia. Ketiga totalisme, yakni Islam relevan dengan setiap bidang kegiuatan hidup manusia dalam artian Islam tidak hanya menyangkut aktivitas mnusia dan tujuan di masa mereka saja tetapi menyangkut aktivitas manusia disetiap masa dan tempat. Dalam hal kesenian, beliau tidak menentang kretaivitas manusia, tidak juga menentang kenikmatan dan keindahan. Menurutnya Islam menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhandan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam firman-firman-Nya.

Pada masa hayatnya, Al-Faruqi pemah memegang jabatan penting dalam
kapasitasnya sebagai ilmuan. Diantaranya adalah kepala studi keislaman di Temple University, AS; Direktur Institut Islam di University Chicago; Direktur Institut Intemasional pemikir Islam do Washington; dan presiden Institu studi Lanjutan Washington.[7]
Semangat kritik ilmiahnya dan kecakapan dalam bidang keilmuan membuat Al-Faruqi mengemukakan ide perlunya mengislamkan ilmu-ilmu sosial kontemporer. Untuk mencapai tujuan ini ia mendirikan Himpunan Ilmuan Sosial Muslim (The Assosiation of muslim Social Scientists). Ia menjadi presiden yang pertama pada tahun 1972 hingga 1978.
Al-Faruqi juga berperan penting dalam pembentukan lembaga Internaional
(The Intemasional Institute if Islamic Thought). Kedua lembaga tersebut secara bersama-sama menerbitkan jurnal American Journal of Islamic Social Sciences. Tetapi sangat disayangkan aktifitas Al-Faruqi dan kepiawaiannya harus berakhir dengan peristiwa yang sangat tragis, ia meningggal dunia pada tahun 1986 bersama istrinya Lamiya Al-Faruqi dalam peristiwa pembunuhan secara brutal oleh orang yang tak dikenal, di rumah mereka Wyncote, Philadelphia. Misteri pembunuhan itu berkaitan erat dengan kecamannya terhadap zionisme Israel serta
dukungannya kepada rakyat Palestina yang merupakan tanah airnya. Di lain pihak
ada kelompok menilai bahwa kematian Al-Faruqi adalah salah satu korban dari teori 19, sebagaimana yang dikemukakan oleh Kahlifah antara lain menulis:
"Ismail AI-Faruqi telah mencurahkan hidupnya untuk melawan Tuhan, Nabiulah Muhammad SA W dan mukjizat Tuhan yang datang pada kita melalui Muhammad, setelah sepuluh tahun menolak untuk menyokong kebenaran dan mendukung "mukjizat matematika" AI-Qur'an akhirnya Al-Faruqi menerima hukum dan balasannya, ini keputusan Tuhan bukan keputusan kita, di hari kemudian nanti dia akan menerima hukuman yang jauh lebih butut dan abadi”

5. Pokok-Pokok Pemikiran AI-Faruqi
Al-Faruqi banyak mengemukakan gagasan serta pemikiran yang berhubungan Dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh Umat Islam. Dan semua pemikirannya itu saling terkait satu sama lain, semuanya berporos pada satu sumbu yaitu Tauhid. Dengan pemikirannya menjelaskan tentang tauhid adalah tauhida sebagai inti agama pengalaman, pandangan dunia, intisari Islam, prinsip sejarah, prinsip pengetahuan, prinsip metafisik, etika, tata sosial, umamah, keluarga, tata politik, ekonomi dan estetika.

Diantaranya pemikiran Al-Faruqi yang terpenting adalah:


A. Tauhid
Masalah yang terpenting dan menjadi tema sentral pemikiran Islam adalah
pemurnian tauhid, karena nilai dari keislaman seseorang itu adalah pengesahan
terhadap Allah SWT yang terangkum dalam syahadat. Upaya pemumian tauhid
inipun telah banyak dilakukan oleh para ulama terdahulu, diantaranya kita mengenal adanya gerakan wahabiyah yang dipimpin oleh Muhammad bin abdul Wahab.
Menurutnya kalimat "tauhid" tersebut mengandung dua arti yang pertama "nafi" (negatit) dan kedua: itsbat (positif) laa ilaaha (tiada Tuhan yang berhak diibadahi) berarti tidak ada apapun; illaahi (melainkan Allah) berarti yang benar dan berhak diibadahi hanyalah Allah Yang Maha Esa yang tidak ada sekutu bagiNya dan secara gamlang di dalam bukunya Kitab At-tauhid beliau menyebutkan setiap tahyul. Setiap bentuk sihir, melibatkan pelaku atau pemanfaatannya dalam syirik adalah pelanggaran tauhid.[8]
Tetapi tauhid bukan sekedar diakui dengan lidah dan ikrar akan keesaan Allah serta kenabian Muhammad SAW. Walaupun ikrar dan syahadat oleh seorang muslim mengkonsekuensikan sejumlah aturan hukum di dunia ini, namun tauhid yang merupakan sumber kebahagiaan abadi manusia dan kesempurnaanya, tidak berhenti pada kata-kata dan lisan. Lebih dari itu tauhid juga harus merupakan suatu realitas batin dan keimanan yang berkembang di dalam hati. Tauhid juga merupakan prinsip mendasar dari seluruh aspek hidup manusia sebagaimana yang dikemukakan bahwa pernyataan tentang kebenaran universal tentang pencipta dan pelindung alam semesta.

B. Islamisasi llmu Pengetahuan
Pada hakekatnya ide Islamization of knowledge ini tidak bisa dipisahkan dari pemikiran Islam di zaman moderen ini. Ide tersebut telah diproklamirkan sejak tahun 1981, yang sebelumnya sempat digulirkan di Mekkah sekitar tahun 1970-an.
Ungkapan Islamisasi ilmu pengatahuan pada awalnya dicetuskan oleh Syed Muhammad Naguib Al-Atas pada tabun 1397 H/1977 M yang menurutnya adalah "desekuralisasi ilmu". Sebelumnya Al-Faruqi mengintrodisir suatu tulisan mengenai Islamisasi ilm-ilmu sosial. Meskipun demikian, gagasan ilmu keislaman telah muncul sebelumnya dalam karya-karya Sayyid Hossein Nasr. Dalam hal ini Nasr mengkritik epistemologi yang ada di Barat (sains moderen) dan menampilkan epistemologi prespektif sufi.
Di dalam kehendak pencipta selalu tewujud Pemenuhan karena pemestian hanya berlaku pada nilai Elemental atau utiliter, pemenuhan kemerdekaan berlaku pada nilai-nilai normal dan bila kita kaitkan dengan Barat maka nilai-nilai ini banyak diabaikan oleh Barat.[9]



C. Politik
 Pemikiran AI-Faruqi yang menarik untuk dikaji dalam bidang politik pertama adalah idenya mengenai negara dan Islami dan yang kedua sikapnya terhadap zionis Israel.

6.Tiga Macam Pendekatan dalam Memahami Agama
Pendekatan yang digunakan para teolog sebagai tugas pokok:
a. Pendekatan Teologis Normatif
Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama, ialah upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar bila dibandingkan dengan yang lainnya. Model pendekatan ini, oleh Muh. Natsir Mahmud, disebut sebagai pendekatan teologis-apologis. Sebab cenderung mengklaim diri sebagai yang paling benar, dan memandang yang berada di luar dirinya sebagai sesuatu yang salah, atau minimal keliru.
Menurut Amin Abdullah, teologi tidak bisa tidak, pasti mengacu pada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis.

Dari pemikiran tersebut di atas, dapat diketahui bahwa pendekatan teologis normatif dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing dari bentuk forma simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar, sedangkan yang lainnya salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar, sedangkan paham lainnya adalah salah, sehingga memandang bahwa paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat dan kafir itupun menuduh kepada pihak lain sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses saling mengkafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian antara satu aliran dengan aliran yang lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan, sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan pengkotak-kotakan.

Penelitian terhadap agama tertentu dengan menggunakan pendekatan teologi normatif banyak ditemukan dalam karya-karya orientalis Kristen, yang cenderung mendiskreditkan Islam. Mc.Donal umpamanya, seperti yang dikutip oleh M. Natsir Mahmud mengatakan bahwa Islam pada mulanya adalah ajaran Kristen yang diselewengkan oleh keadaan patologis (penyakit jiwa) Muhammad, Islam menurutnya adalah bagian pemikiran ketimuran. Karakteristik pemikiran ketimuran menurutnya, ada dua :

1. Menghargai fakta dan diikuti oleh fantasi yang bebas, tetapi di sisi lain terkungkung.
2. Tidak menghargai kebebasan berpikir dan kebebasan intelektual.

Contoh tersebut hanyalah contoh kecil dari sederetan pandangan subjektif Islamolog Kristen dalam memandang Islam. Pandangan seperti itu, didasarkan pada pandangan subjektivitas tentang kebenaran agama tertentu yang dianutnya.

Amin Abdullah, dalam hal ini mengomentari bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak dapat memecahkan esensial pluralitas agama dewasa ini. Terlebih-lebih lagi kenyataan demikian harus ditambahkan bahwa doktrin teologi pada dasarnya tidak pernah berdiri sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya.

Kepentingan ekonomi, sosial, politik, pertahanan selalu menyertai pemikiran teologis yang sudah mengelompok dan mengkristal dalam suatu komunitas masyarakat tertentu.

Uraian di atas bukan berarti bahwa pendekatan teologis normatif dalam memahami agama hampir tidak dibutuhkan. Proses pelembagaan perilaku keagamaan melalui mazhab-mazhab sebagaimana halnya yang terdapat dalam teologi, jelas diperlukan, yang antara lain berfungsi untuk mengawetkan ajaran agama dan juga berfungsi sebagai pembentukan karakter pemeluknya dalam rangka membangun masyarakat ideal menurut pesan dasar agama.
Jadi pendekatan teologis normatif dalam agama adalah melihat agama sebagai suatu kebenaran yang mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikit pun dan nampak bersifat ideal. Dalam kaitan ini, agama tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas.

Untuk agama Islam misalnya, secara normatif pasti benar, menjunjung nilai-nilai luhur. Untuk bidang sosial, agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, kesetiakawanan, tolong-menolong, tenggang rasa, persamaan derajat dan sebagainya. Untuk bidang ekonomi, agama tampil menawarkan keadilan, kebersamaan, kejujuran dan saling menguntungkan.

Demikianlah agama tampil sangat ideal dan ada yang dibangun berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam ajaran agama yang bersangkutan.

b. Pendekatan Teologis–Dialogis
Pendekatan teologis–dialogis seperti yang telah dijelaskan ialah mengkaji agama tertentu dengan mempergunakan perspektif agama lain. Model pendekatan ini, banyak digunakan oleh orientalis dalam mengkaji Islam.
Seorang Islamolog Barat, Hans Kung, seperti yang disinyalir oleh Dr. M. Natsir Mahmud, dalam berbagai tulisannya dalam pengkajian Islam menggunakan pendekatan teologis-dialogis, yakni bertolak dari perspektif teologi Kristen. Kung menyajikan pandangan-pandangan teologi Kristen dalam melihat eksistensi Islam, mulai dari pandangan teologis yang intern sampai pandangan yang toleran, yang saling mengakui eksistensi agama masing-masing agama.

Dalam melengkapi komentarnya, pertanyaan teologis yang diajukan Kung adalah, bahwa apakah Islam merupakan jalan keselamatan ? pertanyaan ini menjadi titik tolak untuk melihat apakah Islam sebuah agama yang menyelematkan penganutnya bila dilihat dari teologi Kristen. Kung mengemukakan pandangan beberapa teolog Kristen, misalnya, Origan, yang mengeluarkan pernyataan yang terkenal dengan Ekstra Gelesiam Nulla Sulus, artinya tidak ada keselamatan di luar gereja.

Selain itu, pendekatan teologis dialogis juga digunakan oleh W. Montgomery Watt. Hakikat dialog menurut Watt, sebagai upaya untuk saling mengubah pandangan antar penganut agama dan saling terbuka dalam belajar satu sama lain. Dalam hal ini Watt bermaksud menghilangkan sikap merendahkan agama seseorang oleh penganut agama yang lain serta menghilangkan ajaran yang bersifar apologis dari masing-masing agama.
C.W. Trell mengomentari penjelasan Watt tersebut dalam tiga hal: (1) masing-masing penganut agama saling mengakui bahwa mereka adalah pengikut Tuhan yang beriman, (2) sebagai konsekwensi dari yang pertama, perlu merevisi doktrin masing-masing agama untuk dapat membawa pada keimanan kepada Tuhan secara damai, (3) melakukan kritik-kritik yang menghasilkan visi baru. Watt dalam hal ini berusaha melakukan reinterpretasi terhadap ajaran agama yang mengandung nada apologis terhadap agama lain.

c. Pendekatan Teologis-Konvergensi
Pendekatan teologi konvergensi" adalah merupakan metode pendekatan terhadap agama dengan melihat unsur-unsur persamaan dari masing-masing agama atau aliran.Maksudnya dari pendekatan ini ialah ingin mempersatukan unsur-unsur esensial dalam agama-agama, sehingga tidak nampak perbedaan yang esensial. Dalam kondisi demikian, agama dan penganutnya dapat disatukan dalam satu konsep teologi universal dan umatnya disatukan sebagai satu umat beragama.

Dalam hal pendekatan teologi konvergensi ini, Wilfred Contwell Smith sebagai penganut pendekatan ini menghendaki agar penganut agama-agama dapat menyatu, bukan hanya dalam dunia praktis tetapi juga dalam pandangan teologis. Sehubungan dengan hal tersebut, Smith mencoba membuat pertanyaan di mana letak titik temu keyakinan agama-agama itu untuk mencapai sebuah konvergensi agama ?  Dalam hal ini Smith terlebih dahulu membedakan antara faith (iman) dengan belief (kepercayaan). Di dalam faith agama-agama dapat disatukan, sedang dalam belief tidak dapat menyatu. Belief seringkali normatif dan intoleran. Belief bersifat histotik yang mungkin secara konseptual berbeda dari satu generasi ke generasi yang lain. Dari masalah belief itulah penganut agama berbeda-beda, dan dari perbedaan itu akan menghasilkan konflik. Sebaliknya dalam faith umat beragama dapat menyatu. Jadi orang bisa berbeda dalam kepercayaan (belief), tetapi menyatu dalam faith. Sebagai contoh, dalam masyarakat Islam terdapat berbagai aliran teologis maupun aliran fiqih. Mereka mungkin penganut aliran al-Asy'ariyah atau Mu'tazilah atau pengikut Imam Syafi'i atau Imam Hambal. Belief mereka berbeda yang mungkin menimbulkan sikap keagamaan yang berbeda, tetapi mereka tetap satu dalam faith (iman). Demikian pula antara penganut agama, mereka berbeda dalam belief dan respon keagamaan yang berbeda, tetapi hakikatnya menyatu dalam faith.

Dari ketiga metode pendekatan teologis tersebut di atas, maka yang paling akurat dipergunakan menurut analisa penulis adalah pendekatan teologis konvergensi, di mana pendekatan ini telah tercakup di dalamnya nilai-nilai normatif dan dialogis. Lain halnya hanya dengan menggunakan metode pendekatan normatif atau dialogis saja, belum tentu terdapat unsur konvergensi di dalamnya.








BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dari tokoh memang tidak dapat terlepaskan dari pemikiran kalam dimasa lalu. Ismail Al-Faruqi misalnya pemikirannya lebih cenderung kepada pemikiran Ahlusunnah wal Jamaah atau al Maturidiyah yang dibangun oleh al Imam Asy’ari dan al Maturdi. Demikian juga dengan Harun Nasution yang pemikirannya lebih cenderung kepada pemikiran Muktazilah dan Qadariyah yang lebih menekankan peranan akal dalam menghadapi realita takdir atau nasib dalam kehidupan di dunia ini
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan:
1.      Pemikiran-pemikiran Harun Nasution
a.         Peranan Akal
b.        Pembaharuan Teologi
c.         Hubungan akal dan wahyu
          Menurut Harun Nasution, tugas pokok ajaran Islam dibagi menjadi 2, yaitu:
1) Ajaran Islam yang bersifat dasar dan absolut, Ajaran ini hanya sedikit, yakni 4 hal:
a)      Tidak boleh ada dalam pemikiran Islam bahwa Allah tidak ada.
b)      Tidak boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa Al-Qur’an bukan            wahyu.
c)      Tidak boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa Muhammad bukan rasul Allah.
d)     Tidak boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa hari akhir tidak ada.
2)      Ajaran Islam yang bersifat pengembangan.
2.      Pemikiran-pemikiran M. H. Rasyidin
            Pemikiran kalam Rasyidi dapat ditelusuri dari kritika– kritikan yang ditujukan pada Harun Nasution Secara garis besar pemikiran kalamnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.       Tentang perbedaan ilmu kalam  dan teologi
b.      Tema–tema ilmu Kalam
c.       Hakikat iman

DAFTAR PUSTAKA

Al-Faruqi, Tauhid: Its Implementations for thought and life. Wynccote USA: The
International Institute of Islamic Thought, 1982, hlm.17

Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam islam, UI Press, jakarta, 1980, hlm, 101.

Zaim Uchrowi, 70 Tahun Harun Nasution, lembaga Studi Agama dan Filsafat, Jakarta, 1989.

Husin Agil Said dan Husni Rahim 2002Teologi Islam RasionalJakarta: PNT   Ciputat Pers

Muzani, Saiful. 2000. Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun    Nasution Bandung: Mizan

Nasution, HarunRefleksi Pembaharuan Pemikiran Islam.  Jakarta

Rohison, Anwar.  2010. Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka


      http://blog.uin-malang.ac.id/ivageje/2011/01/01/faktor-pendukung-lahirnya-ilmu-kalam/



Tidak ada komentar:

Posting Komentar