ILMU TAUHID/ILMU KALAM
“TUGAS TUGAS POKOK PARA
TEOLOG”
Yang diasuh oleh : Mislaiana,M.Pd.I

DISUSUN OLEH
1.MUDIRUL ACHMAD PONJA (1511080089)
JURUSAN BIMBINGAN DAN
KONSELING
FAKULTAS TARBIYAH DAN
KEGURUAN
IAIN RADEN INTAN
LAMPUNG
1437 H/ 2015 M
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat ALLAH SWT, yang telah senantiasa melimpahkan Rahmat
dan Hidayah nya sehingga kita semua dalam
keadaan sehat walafiat dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Penyusun juga
panjatkan kehadiran ALLAH SWT, karena hanya dengan keridoan nya Makalah dengan
judul “TUGAS TUGAS POKOK PARA TEOLOG” ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari betul sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak,
makalah ini tidak akan terwujud dan masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
dengan segala kerendahan hati penulis berharap saran dan kritik demi
perbaikan-perbaikan lebih lanjut.
Akhirnya penulis berharap, semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi yang membutuhkan.
Bandar lampung,13 Oktober
2015
penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL.............................................................................................i
KATA
PENGANTAR........................................................................................
.ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A.LATAR
BELAKANG..........................................................................1
B.RUMUSAN
MASALAH......................................................................2
C.TUJUAN
PENULISAN.......................................................................2
D.MANFAAT
PENULISAN...................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
1.PEMIKIRAN
PEMIKIRAN HARUN NASUTION.........................3
2.TUGAS POKOK AJARAN ISLAM MENURUT
HARUN
NASUTION.............................................................................................5
3.PEMIKIRAN
PEMIKIRAN M.H. RASYIDIN...............................6
4.PEMIKIRAN
KALAM ISMAIL AL FARUQI...............................7
5.POKOK
POKOK PEMIKIRAN AL FARUQI................................9
6.PENDEKATAN
PARA TEOLOG SEBAGAI TUGAS POKOK..................................................................................................11
BAB
III PENUTUP
KESIMPULAN....................................................................................16
DAFTAR
PUSTAKA......................................................................................18
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Wafatnya Rasulullah SAW di tahun 632 M menyebabkan
pergantian dan perebutan kekuasaan terus menerus,sebagai pengganti baginda
Rosul SAW. Pergantian tersebut dimulai dari Abu Bakar, Umar Ibn al-Khattab,
Usman Ibn ‘Affan, Ali Ibn Abi Thalib, dan Mu’awiyah. Pergantian kedudukan dari
khalifah Ali Ibn Abi Thalib ke Mu’awiyah terjadi konon karena adanya kecurangan
yang dilakukan Mu’awiyah. Karena adanya kecurangan inilah maka lahir
golongan-golongan seperti khawarij, murji’ah, mu’tazilah, qadariyah dan
jabariyah, serta ahli sunnah dan jama’ah. Dan dari sinilah lahir firqoh-firqoh
yang mempunyai perbedaan disetiap langkah dan pikiran mereka, dan disinalah
lahir bebapa paham tentang ketuhanan yang menyebabkan timbulnya permasalahan
yang sering disebut oleh dosen-dosen sebagai permasalahan kalam atau teologi,
yang kebenaranya dosenpun tidak tau.
Ilmu kalam atau teologi dari masa ke masa mengalami
perkembangan yang cukup pesat, banyak tokoh-tokoh pemikir ilmu kalam
bermunculan. Dan memiliki argumentasi yang berbeda-beda, sehingga
persoalan-persoalan yang mengenai ilmu kalam atau teologi itu sendiri semakin
serius untuk dibahas. Karena dari permasalahan tersebut akan memicu timbulnya
pemikiran-pemikiran yang baru dan tanggapan dari berbagai tokoh-tokoh ilmu
kalam itu sendiri.
Banyaknya tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang
yang berbeda, maka banyak pula pemikiran-pemikiran dari mereka yang berbeda
tentang permasalahan ilmu kalan ini.
Di
dalam makalah sederhana pemakalah akan sedikit mengulas term-term kalam yang
mengacu pada tugas tugas pokok dari pemikiran para teolog
B. RUMUSAN MASALAH
1. siapa saja tokoh teolog Islam yang pemikirannya termasuk
dalam ilmu kalam ?
2. bagaimana
pemikiran mereka mengenai ilmu kalam tersebut ?
C. TUJUAN PENULISAN
1. mengetahui tugas pokok para tokoh melalui pemikiran ilmu kalam masa kini.
2. Mengetahui apa
saja pendapat tokoh teolog Islam mengenai ilmu kalam masa kini.
D. MANFAAT PENULISAN
1. dapat mengetahui
tentang pemikiran kalam
2. dapat dijadikan
referensi atau sumber rujukan bagi pembaca untuk pedoman dalam pembuatan
makalah atau karya tulis lainnya
BAB II
PEMBAHASAN
TUGAS TUGAS POKOK PARA TEOLOG MELALUI PEMIKIRAN
1. Pemikiran-pemikiran
Harun Nasution
a. Peranan Akal
Bukanlah secara kebetulan bila
Harun Nasution memilih problematika akal dalam system teologi Muhammad Abduh
sebagai bahan kajian disertasinya di Universitas Mogill, Mentreal, Kanada.
Besar kecilnya peranan akal dalam system teologi suatu aliran sangat menentukan
dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam. Berkenaan
dengan akal ini, Harun Nasution menulis demikian: “Akal melambangkan kekuatan
manusia”. Karena akallah manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan
kekuatan makhluk lain disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah
tinggi pula kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan
akal manusia, bertambah lemah pulalah kesanggupannya untuk menghadapi
kekuatan-kekuatan lain tersebut.[5]
Dalam sejarah Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi
dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan
saja, akan tetapi dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri.
Pemikiran akal dalam Islam diperintahkan Al-Qur’an sendiri. Bukanlah tidak ada
dasarnya apabila ada penulis-penulis, baik di kalangan Islam sendiri maupun di
kalangan non-Islam, yang berpendapat bahwa Islam adalah agama rasional.[6]
b. Pembaharuan Teologi
Teologi adalah ilmu yang mempelajari ajaran-ajaran dasar
suatu agama. Dalam Islam, teologi disebut sebagai‘ilm al-kalam. Secara
umum, pemikiran Harun tentang teologi rasional maksudnya adalah bahwa kita
harus mempergunakan rasio kita dalam menyikapi masalah. Namun bukan berarti
menyepelekan wahyu. Karena menurutnya, di dalam Al-Qur’an hanya memuat sebagian
kecil ayat ketentuan-ketentuan tentang iman, ibadah, hidup bermasyarakat, serta
hal-hal mengenai ilmu pengetahuan dan fenomena natur. Menurutnya, di dalam
Al-Qur’an ada dua bentuk kandungan yaitu qath’iy al dalalah dan zhanniy
al-dalalah. Qath’iy al dalalah adalah kandungan yang sudah
jelas sehingga tidak lagi dibutuhkan interpretasi. Zhanniy al-dalalah adalah
kandungan di dalam Al-Qur’an yang masih belum jelas sehingga menimbulkan
interpretasi yang berlainan. Disinilah dibutuhkan akal yang dapat berpikir
tentang semua hal tersebut. Dalam hal ini, keabsolutaan wahyu sering
dipertentangkan dengan kerelatifan akal.[7]
Pandangan ini, serupa dengan pandangan kaum modernis
lain pendahuluannya (Muhammad
Abduh, Rasyid Ridho, Al afghani, Said Amer dan lainnya) yang
memandang perlu untuk kembali kepada teologi islam sejati. Retorika ini
mengandung pengertian bahwa umat islam dengan teologi fatalistik, irasional,
pre-deteminisme serta penerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju
kesengsaraan dan keterbelakangan.
Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat islam,
menurut Harun Nasution, umat islam hendaklah
merubah teologi mereka menuju teologi yang berwatak, rasional serta mandiri.
Tidak heran jika teori moderenisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam
khasanah islam klasik sendiri yakni teologi Mu’tazilah.[8]
c. Hubungan akal dan wahyu
Salah satu fokus pemikiran
Harun Nasution adalah hubungan akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan
akal dan wahyu memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak
bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Orang yang
beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu
bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.[9]
Dalam pemikiran Islam, baik di
bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah
membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap
dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahu dan tidak untuk menentang
wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan
kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang dipertentangkan dalam
sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dan wahyu, tetapi penafsiran
tertentu dari teks wahyu dengan lain dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang
bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan
pendapat akal ulama lain.
2. Menurut Harun Nasution, tugas
pokok ajaran Islam dibagi menjadi 2, yaitu:
1) Ajaran
Islam yang bersifat dasar dan absolut
Ajaran
ini hanya sedikit, yakni 4 hal:
a) Tidak
boleh ada dalam pemikiran Islam bahwa Allah tidak ada.
b) Tidak
boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa Al-Qur’an bukan wahyu.
c) Tidak
boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa Muhammad bukan rasul Allah.
d) Tidak
boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa hari akhir tidak ada.
Malaikat menjadi perdebatan orang, takdir dan ikhtiar
juga menjadi masalah dalam sejarah pemikiran Islam. Jadi, jika ada pemikiran
Islam yang menyimpulkan menyimpang dari keempat hal tersebut, maka itu bukan
pemikiran Islam lagi.
2) Ajaran
Islam yang bersifat pengembangan.
Dalam
pemikiran teologi Islam modern, seorang muslim dirangsang untuk berpikir
rasional, yakni pemikiran Islam yang tidak takut pada falsafat, tidak
merendahkan kemampuan akal, tidak sempit dan tidak dogmatis. Meski terkadang
terjadi goncangan-goncangan pemikiran ketika mendiskusikan ilmu kalam, falsafat
Islam, tasawuf dan pembaruan dalam Islam. Ketika mendiskusikan masalah kaitan
perbuatan manusia dengan perbuatan atau penciptaan Tuhan, pada umumnya seorang
muslim sudah memiliki pendirian bahwa paham Jabariah dan lawannya, Qadariah,
adalah dua paham yang salah, dan meyakini adanya paham ketiga, yaitu
paham kasab, yang diyakini benar, yang posisinya berada di
tengah Jabariah dan Qadariah.
3. Pemikiran-pemikiran M. H. Rasyidin
Pemikiran kalam Rasyidi dapat ditelusuri dari kritika–
kritikan yang ditujukan pada Harun Nasution Secara garis besar pemikiran
kalamnya dapat dikemukakan sebagai berikut.[13]
a. Tentang
perbedaan ilmu kalam dan teologi
Rasyidi menolak pandangan Harun Nasution yang
menyamakan ilmu kalam dengan ilmu teologi yang dikemukakan oleh Harun Nasution
menurut Rasyidi ada kesan bahwa ilmu Kalam adalah Teologi Islam dan Teologi
adalah ilmu Kalam dalam Kristen. Menurutnya orang Barat memakai istilah Teologi
untuk menunjukan tauhid atau kalam karena mereka tak memiliki istilah lain.
Teologi terdiri dua kata yaitu (theo) artinya
tuhan, dan logos artinya ilmu. Jadi teologi adalah ilmu tentang ketuhanan.
Adapun sebab timbulnya Teologi dalam kristen adalah ketuhanan nabi isa,
sebagian salah satu tri-tungal atau trinitas. Namun kata Teologi mengandung
beberapa aspek agama Kristen, yang diluar kepercayaan (yang benar), sehingga
teologi dalam Kristen tidak sama dengan ilmu tauhid dan ilmu kalam.
b. Tema–tema
ilmu Kalam
Salah satu tema ilmu Kalam Harun Nasution yang dikritik
Rasyidi adalah Islam sekarang, khususnya Indonesia. Rasyidi berpendapat bahwa
menonjolkan perbedaan antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah akan melemahkan iman
para mahasiswa.
Memang tidak ada agama yang mengagungkan akal kecuali
islam,tetapi dengan menggambarkan akal dapat mengetahui baik dan buruk,
sedangkan wahyu membuat nilai yang dipikirkan manusia bersifat absolut -
universal berarti meremehkan ayat Al- Quran Seperti, Wallahu ya’lamu wa
antum la ta’lamu ( Dan Allah- lah yang Maha Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.”(Q.S.
Al – Baqarah (2) :232).
Rasyidi menegaskan pada saat ini, di Barat akal
dirasakan tidak lagi mampu mengetahu iman yang baik dan mana yang buruk.
Buktinya adalah kemunculan Eksistensialisme sebagai reaksi
terhadap aliran rasionalisme. Rasyidi juga mengakui bahwa soal-
soal yang yang pernah diperbincangkan pada dua belas abad yang lalu, memang
masih ada yang relevan pada masa sekarang, tetapi ada pula yang tidak
relevan dengan masa sekarang.[14]
c. Hakikat
iman
Bagian ini merupakan kritikan Rasyidi terhadap
deskripsi iman yang dikemukakan Nurcholis Madjid, yakni “ percaya dan menaruh
kepercayaan pada Tuhan.Dan apresiatif kepada Tuhan merupakan inti dari
pengalaman seseorang. Sikap ini disebut Takwa.
Apresiasi ketuhanan menumbuhkan kesadaran Tuhan yang
menyeluruh, sehingga menumbuhkan keadaan bersatunya hamba dengan Tuhan.
Menanggapi pernyataan diatas Rasyidi mengatakan bahwa iman bukan sekedar
menuju bersatunya hamba dengan Tuhannya, tetapi dapat dilihat dalam
dimensi konsekuensial atau hubungan manusia dengan manusia dalam hidup
bermasarakat.
Bersatunya
manusia dengan Tuhanya bukan merupakan aspek yang mudah dicapai oleh karena itu
yang lebih penting dari penyatuan adalah kepercayaan, ibadah,dan
kemasyarakatan.[15]
4.
ISMAIL FARUQI
Pemikiran
Kalam Ismail al Faruqi
Pemikiran kalam Ismail al Faruqi tertuang dalam
karyanya yang berjudul Tauhid. Dalam karyanya ini beliau ini mengungkapkan
bahwa syahadat menempati posisi sentral dalam kehidupan manusia baik dalam
setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim. Tauhid merupakan
pandangan umum , Dalam menyoroti tentang tauhid sebagai prinsip ummat, al
Faruqi membaginya kedalam tiga identitas, yakni: pertama, menenentang
etnisentrisme yakni tata sosial Islam adalah universal mencakup seluruh ummat
manusia tanpa kecuali dan tidak hanya untuk segelitir suku tertentu. Kedua,
universalisme yakni Islam meliputi seluruh ummat manusia yang cita-cita
tersebut diungkapkan dalam ummat dunia. Ketiga totalisme, yakni Islam relevan
dengan setiap bidang kegiuatan hidup manusia dalam artian Islam tidak hanya
menyangkut aktivitas mnusia dan tujuan di masa mereka saja tetapi menyangkut
aktivitas manusia disetiap masa dan tempat. Dalam hal kesenian, beliau
tidak menentang kretaivitas manusia, tidak juga menentang kenikmatan dan
keindahan. Menurutnya Islam menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada dalam
diri Tuhandan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam firman-firman-Nya.
Pada masa hayatnya, Al-Faruqi pemah memegang jabatan
penting dalam
kapasitasnya
sebagai ilmuan. Diantaranya adalah kepala studi keislaman di Temple University,
AS; Direktur Institut Islam di University Chicago; Direktur Institut
Intemasional pemikir Islam do Washington; dan presiden Institu studi Lanjutan
Washington.[7]
Semangat kritik ilmiahnya dan kecakapan dalam bidang
keilmuan membuat Al-Faruqi mengemukakan ide perlunya mengislamkan ilmu-ilmu
sosial kontemporer. Untuk mencapai tujuan ini ia mendirikan Himpunan Ilmuan
Sosial Muslim (The Assosiation of muslim Social Scientists). Ia menjadi
presiden yang pertama pada tahun 1972 hingga 1978.
Al-Faruqi juga berperan penting dalam pembentukan
lembaga Internaional
(The
Intemasional Institute if Islamic Thought). Kedua lembaga tersebut secara
bersama-sama menerbitkan jurnal American Journal of Islamic Social Sciences.
Tetapi sangat disayangkan aktifitas Al-Faruqi dan kepiawaiannya harus berakhir
dengan peristiwa yang sangat tragis, ia meningggal dunia pada tahun 1986
bersama istrinya Lamiya Al-Faruqi dalam peristiwa pembunuhan secara brutal oleh
orang yang tak dikenal, di rumah mereka Wyncote, Philadelphia. Misteri
pembunuhan itu berkaitan erat dengan kecamannya terhadap zionisme Israel serta
dukungannya
kepada rakyat Palestina yang merupakan tanah airnya. Di lain pihak
ada
kelompok menilai bahwa kematian Al-Faruqi adalah salah satu korban dari teori
19, sebagaimana yang dikemukakan oleh Kahlifah antara lain menulis:
"Ismail AI-Faruqi telah mencurahkan hidupnya
untuk melawan Tuhan, Nabiulah Muhammad SA W dan mukjizat Tuhan yang datang pada
kita melalui Muhammad, setelah sepuluh tahun menolak untuk menyokong kebenaran
dan mendukung "mukjizat matematika" AI-Qur'an akhirnya Al-Faruqi
menerima hukum dan balasannya, ini keputusan Tuhan bukan keputusan kita, di
hari kemudian nanti dia akan menerima hukuman yang jauh lebih butut dan abadi”
5.
Pokok-Pokok Pemikiran AI-Faruqi
Al-Faruqi
banyak mengemukakan gagasan serta pemikiran yang berhubungan Dengan
masalah-masalah yang dihadapi oleh Umat Islam. Dan semua pemikirannya itu
saling terkait satu sama lain, semuanya berporos pada satu sumbu yaitu Tauhid.
Dengan pemikirannya menjelaskan tentang tauhid adalah tauhida sebagai inti
agama pengalaman, pandangan dunia, intisari Islam, prinsip sejarah, prinsip
pengetahuan, prinsip metafisik, etika, tata sosial, umamah, keluarga, tata
politik, ekonomi dan estetika.
Diantaranya
pemikiran Al-Faruqi yang terpenting adalah:
A.
Tauhid
Masalah yang terpenting dan menjadi tema sentral
pemikiran Islam adalah
pemurnian
tauhid, karena nilai dari keislaman seseorang itu adalah pengesahan
terhadap
Allah SWT yang terangkum dalam syahadat. Upaya pemumian tauhid
inipun
telah banyak dilakukan oleh para ulama terdahulu, diantaranya kita mengenal
adanya gerakan wahabiyah yang dipimpin oleh Muhammad bin abdul Wahab.
Menurutnya kalimat "tauhid" tersebut
mengandung dua arti yang pertama "nafi" (negatit) dan kedua: itsbat
(positif) laa ilaaha (tiada Tuhan yang berhak diibadahi) berarti tidak ada
apapun; illaahi (melainkan Allah) berarti yang benar dan berhak diibadahi hanyalah
Allah Yang Maha Esa yang tidak ada sekutu bagiNya dan secara gamlang di dalam
bukunya Kitab At-tauhid beliau menyebutkan setiap tahyul. Setiap bentuk sihir,
melibatkan pelaku atau pemanfaatannya dalam syirik adalah pelanggaran tauhid.[8]
Tetapi tauhid bukan sekedar diakui dengan lidah dan
ikrar akan keesaan Allah serta kenabian Muhammad SAW. Walaupun ikrar dan
syahadat oleh seorang muslim mengkonsekuensikan sejumlah aturan hukum di dunia
ini, namun tauhid yang merupakan sumber kebahagiaan abadi manusia dan
kesempurnaanya, tidak berhenti pada kata-kata dan lisan. Lebih dari itu tauhid
juga harus merupakan suatu realitas batin dan keimanan yang berkembang di dalam
hati. Tauhid juga merupakan prinsip mendasar dari seluruh aspek hidup manusia
sebagaimana yang dikemukakan bahwa pernyataan tentang kebenaran universal
tentang pencipta dan pelindung alam semesta.
B.
Islamisasi llmu Pengetahuan
Pada hakekatnya ide Islamization of knowledge ini
tidak bisa dipisahkan dari pemikiran Islam di zaman moderen ini. Ide tersebut
telah diproklamirkan sejak tahun 1981, yang sebelumnya sempat digulirkan di
Mekkah sekitar tahun 1970-an.
Ungkapan Islamisasi ilmu pengatahuan pada awalnya
dicetuskan oleh Syed Muhammad Naguib Al-Atas pada tabun 1397 H/1977 M yang
menurutnya adalah "desekuralisasi ilmu". Sebelumnya Al-Faruqi
mengintrodisir suatu tulisan mengenai Islamisasi ilm-ilmu sosial. Meskipun
demikian, gagasan ilmu keislaman telah muncul sebelumnya dalam karya-karya
Sayyid Hossein Nasr. Dalam hal ini Nasr mengkritik epistemologi yang ada di
Barat (sains moderen) dan menampilkan epistemologi prespektif sufi.
Di dalam kehendak pencipta selalu tewujud Pemenuhan
karena pemestian hanya berlaku pada nilai Elemental atau utiliter, pemenuhan
kemerdekaan berlaku pada nilai-nilai normal dan bila kita kaitkan dengan Barat
maka nilai-nilai ini banyak diabaikan oleh Barat.[9]
C.
Politik
Pemikiran
AI-Faruqi yang menarik untuk dikaji dalam bidang politik pertama adalah idenya
mengenai negara dan Islami dan yang kedua sikapnya terhadap zionis Israel.
6.Tiga Macam Pendekatan
dalam Memahami Agama
Pendekatan yang digunakan para teolog sebagai tugas
pokok:
Pendekatan
teologis normatif dalam memahami agama, ialah upaya memahami agama
dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan
bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar
bila dibandingkan dengan yang lainnya. Model pendekatan ini, oleh Muh.
Natsir Mahmud, disebut sebagai pendekatan teologis-apologis.
Sebab cenderung mengklaim diri sebagai yang paling benar, dan memandang yang
berada di luar dirinya sebagai sesuatu yang salah, atau minimal keliru.
Menurut Amin
Abdullah, teologi tidak bisa tidak, pasti mengacu pada agama tertentu.
Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta
penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan
sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran
teologis.
Dari
pemikiran tersebut di atas, dapat diketahui bahwa pendekatan teologis normatif
dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk
forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing dari bentuk forma
simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar,
sedangkan yang lainnya salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin
dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar, sedangkan paham lainnya adalah
salah, sehingga memandang bahwa paham orang lain itu keliru, sesat, kafir,
murtad dan seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat dan kafir
itupun menuduh kepada pihak lain sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan
demikian, maka terjadilah proses saling mengkafirkan, salah menyalahkan dan
seterusnya. Dengan demikian antara satu aliran dengan aliran yang lainnya tidak
terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan, sehingga
yang terjadi adalah pemisahan dan pengkotak-kotakan.
Penelitian
terhadap agama tertentu dengan menggunakan pendekatan teologi normatif banyak
ditemukan dalam karya-karya orientalis Kristen, yang cenderung mendiskreditkan
Islam. Mc.Donal umpamanya, seperti yang dikutip oleh M. Natsir Mahmud
mengatakan bahwa Islam pada mulanya adalah ajaran Kristen yang diselewengkan
oleh keadaan patologis (penyakit jiwa) Muhammad, Islam menurutnya adalah bagian
pemikiran ketimuran. Karakteristik pemikiran ketimuran menurutnya, ada dua :
1.
Menghargai fakta dan diikuti oleh fantasi yang bebas, tetapi di sisi lain
terkungkung.
2.
Tidak menghargai kebebasan berpikir dan kebebasan intelektual.
Contoh
tersebut hanyalah contoh kecil dari sederetan pandangan subjektif Islamolog
Kristen dalam memandang Islam. Pandangan seperti itu, didasarkan pada pandangan
subjektivitas tentang kebenaran agama tertentu yang dianutnya.
Amin
Abdullah, dalam hal ini mengomentari bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak
dapat memecahkan esensial pluralitas agama dewasa ini. Terlebih-lebih lagi
kenyataan demikian harus ditambahkan bahwa doktrin teologi pada dasarnya tidak
pernah berdiri sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan
sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya.
Kepentingan
ekonomi, sosial, politik, pertahanan selalu menyertai pemikiran teologis yang
sudah mengelompok dan mengkristal dalam suatu komunitas masyarakat tertentu.
Uraian
di atas bukan berarti bahwa pendekatan teologis normatif dalam memahami agama
hampir tidak dibutuhkan. Proses pelembagaan perilaku keagamaan melalui
mazhab-mazhab sebagaimana halnya yang terdapat dalam teologi, jelas diperlukan,
yang antara lain berfungsi untuk mengawetkan ajaran agama dan juga berfungsi
sebagai pembentukan karakter pemeluknya dalam rangka membangun masyarakat ideal
menurut pesan dasar agama.
Jadi
pendekatan teologis normatif dalam agama adalah melihat agama sebagai suatu
kebenaran yang mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikit pun dan nampak
bersifat ideal. Dalam kaitan ini, agama tampil sangat prima dengan seperangkat
cirinya yang khas.
Untuk
agama Islam misalnya, secara normatif pasti benar, menjunjung nilai-nilai
luhur. Untuk bidang sosial, agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan,
kebersamaan, kesetiakawanan, tolong-menolong, tenggang rasa, persamaan derajat
dan sebagainya. Untuk bidang ekonomi, agama tampil menawarkan keadilan,
kebersamaan, kejujuran dan saling menguntungkan.
Demikianlah
agama tampil sangat ideal dan ada yang dibangun berdasarkan dalil-dalil yang
terdapat dalam ajaran agama yang bersangkutan.
b.
Pendekatan Teologis–Dialogis
Pendekatan
teologis–dialogis seperti yang telah dijelaskan ialah mengkaji agama tertentu
dengan mempergunakan perspektif agama lain. Model pendekatan ini, banyak
digunakan oleh orientalis dalam mengkaji Islam.
Seorang
Islamolog Barat, Hans Kung, seperti yang disinyalir oleh Dr. M.
Natsir Mahmud, dalam berbagai tulisannya dalam pengkajian Islam menggunakan
pendekatan teologis-dialogis, yakni bertolak dari perspektif teologi Kristen.
Kung menyajikan pandangan-pandangan teologi Kristen dalam melihat eksistensi
Islam, mulai dari pandangan teologis yang intern sampai pandangan yang toleran,
yang saling mengakui eksistensi agama masing-masing agama.
Dalam
melengkapi komentarnya, pertanyaan teologis yang diajukan Kung adalah, bahwa
apakah Islam merupakan jalan keselamatan ? pertanyaan ini menjadi titik tolak
untuk melihat apakah Islam sebuah agama yang menyelematkan penganutnya bila
dilihat dari teologi Kristen. Kung mengemukakan pandangan beberapa teolog
Kristen, misalnya, Origan, yang mengeluarkan pernyataan yang terkenal dengan
Ekstra Gelesiam Nulla Sulus, artinya tidak ada keselamatan di luar gereja.
Selain
itu, pendekatan teologis dialogis juga digunakan oleh W. Montgomery
Watt. Hakikat dialog menurut Watt, sebagai upaya untuk saling mengubah
pandangan antar penganut agama dan saling terbuka dalam belajar satu sama lain.
Dalam hal ini Watt bermaksud menghilangkan sikap merendahkan agama seseorang
oleh penganut agama yang lain serta menghilangkan ajaran yang bersifar apologis
dari masing-masing agama.
C.W.
Trell mengomentari penjelasan Watt tersebut dalam tiga hal: (1) masing-masing
penganut agama saling mengakui bahwa mereka adalah pengikut Tuhan yang beriman,
(2) sebagai konsekwensi dari yang pertama, perlu merevisi doktrin masing-masing
agama untuk dapat membawa pada keimanan kepada Tuhan secara damai, (3)
melakukan kritik-kritik yang menghasilkan visi baru. Watt dalam hal ini
berusaha melakukan reinterpretasi terhadap ajaran agama yang mengandung nada
apologis terhadap agama lain.
c.
Pendekatan Teologis-Konvergensi
Pendekatan
teologi konvergensi" adalah merupakan metode pendekatan terhadap
agama dengan melihat unsur-unsur persamaan dari masing-masing agama atau
aliran.Maksudnya dari pendekatan ini ialah ingin mempersatukan unsur-unsur
esensial dalam agama-agama, sehingga tidak nampak perbedaan yang esensial.
Dalam kondisi demikian, agama dan penganutnya dapat disatukan dalam satu konsep
teologi universal dan umatnya disatukan sebagai satu umat beragama.
Dalam
hal pendekatan teologi konvergensi ini, Wilfred Contwell Smith
sebagai penganut pendekatan ini menghendaki agar penganut agama-agama dapat
menyatu, bukan hanya dalam dunia praktis tetapi juga dalam pandangan teologis.
Sehubungan dengan hal tersebut, Smith mencoba membuat pertanyaan di mana letak
titik temu keyakinan agama-agama itu untuk mencapai sebuah konvergensi agama
? Dalam hal ini Smith terlebih dahulu membedakan antara faith (iman)
dengan belief (kepercayaan). Di dalam faith agama-agama dapat disatukan, sedang
dalam belief tidak dapat menyatu. Belief seringkali normatif dan intoleran.
Belief bersifat histotik yang mungkin secara konseptual berbeda dari satu
generasi ke generasi yang lain. Dari masalah belief itulah penganut agama
berbeda-beda, dan dari perbedaan itu akan menghasilkan konflik. Sebaliknya
dalam faith umat beragama dapat menyatu. Jadi orang bisa berbeda dalam
kepercayaan (belief), tetapi menyatu dalam faith. Sebagai contoh, dalam
masyarakat Islam terdapat berbagai aliran teologis maupun aliran fiqih. Mereka
mungkin penganut aliran al-Asy'ariyah atau Mu'tazilah atau pengikut Imam
Syafi'i atau Imam Hambal. Belief mereka berbeda yang mungkin menimbulkan sikap
keagamaan yang berbeda, tetapi mereka tetap satu dalam faith (iman). Demikian
pula antara penganut agama, mereka berbeda dalam belief dan respon keagamaan
yang berbeda, tetapi hakikatnya menyatu dalam faith.
Dari
ketiga metode pendekatan teologis tersebut di atas, maka yang paling akurat
dipergunakan menurut analisa penulis adalah pendekatan teologis konvergensi, di
mana pendekatan ini telah tercakup di dalamnya nilai-nilai normatif dan
dialogis. Lain halnya hanya dengan menggunakan metode pendekatan normatif atau
dialogis saja, belum tentu terdapat unsur konvergensi di dalamnya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari tokoh memang tidak dapat terlepaskan dari
pemikiran kalam dimasa lalu. Ismail Al-Faruqi misalnya pemikirannya lebih
cenderung kepada pemikiran Ahlusunnah wal Jamaah atau al Maturidiyah yang
dibangun oleh al Imam Asy’ari dan al Maturdi. Demikian juga dengan Harun
Nasution yang pemikirannya lebih cenderung kepada pemikiran Muktazilah dan
Qadariyah yang lebih menekankan peranan akal dalam menghadapi realita takdir
atau nasib dalam kehidupan di dunia ini
Dari
pemaparan diatas dapat disimpulkan:
1. Pemikiran-pemikiran
Harun Nasution
a. Peranan Akal
b. Pembaharuan Teologi
c. Hubungan akal dan wahyu
Menurut Harun Nasution, tugas pokok ajaran Islam dibagi
menjadi 2, yaitu:
1) Ajaran Islam yang bersifat dasar dan absolut, Ajaran ini
hanya sedikit, yakni 4 hal:
a) Tidak
boleh ada dalam pemikiran Islam bahwa Allah tidak ada.
b) Tidak
boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa Al-Qur’an bukan wahyu.
c) Tidak
boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa Muhammad bukan rasul Allah.
d) Tidak
boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa hari akhir tidak ada.
2) Ajaran
Islam yang bersifat pengembangan.
2. Pemikiran-pemikiran M.
H. Rasyidin
Pemikiran
kalam Rasyidi dapat ditelusuri dari kritika– kritikan yang ditujukan pada Harun
Nasution Secara garis besar pemikiran kalamnya dapat dikemukakan sebagai
berikut:
a. Tentang
perbedaan ilmu kalam dan teologi
b. Tema–tema ilmu
Kalam
c. Hakikat
iman
DAFTAR PUSTAKA
Al-Faruqi,
Tauhid: Its Implementations for thought and life. Wynccote USA: The
International
Institute of Islamic Thought, 1982, hlm.17
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam islam, UI Press,
jakarta, 1980, hlm, 101.
Zaim
Uchrowi, 70 Tahun Harun Nasution, lembaga Studi Agama dan Filsafat, Jakarta,
1989.
Husin Agil, Said dan Husni Rahim. 2002. Teologi Islam Rasional. Jakarta: PNT Ciputat Pers
Muzani,
Saiful. 2000. Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran Prof. DR.
Harun Nasution Bandung: Mizan
Nasution, Harun. Refleksi Pembaharuan Pemikiran
Islam. Jakarta
Rohison, Anwar. 2010. Ilmu
Kalam. Bandung: CV Pustaka
http://blog.uin-malang.ac.id/ivageje/2011/01/01/faktor-pendukung-lahirnya-ilmu-kalam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar