TUGAS FIQIH
FIQIH
MUAMALAH (Jual
beli,pinjam-meminjam,dan sewa-menyewa)
Disusun
untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Fiqih
Dosen
Pengampu : Drs.Muad Mustami,M.Sos.I

Disusun oleh:
Mudirul Achmad Ponja (1511080089)
KELAS/SEMESTER: B/II
(DUA)
JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Alloh SWT yang mana atas rahmat dan karunia_Nya sehingga selesailah makalah ini. Di dalam makalah ini penulis membahas tentang fiqih muamalah berkaitan dengan Jual Beli, Pinjam Meminjam dan Sewa Menyewa
Tak lupa penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing dan juga teman-teman sekalian.Adapun makalah ini penulis buat berdasarkan informasi yang ada.
Makalah ini sudah barang tentu jauh dari sempurna. Kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk perbaikan makalah ini. Tidak luput kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu atas terselesaikannya makalah ini.
Bandar lampung,25 April 2016
penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................................ iii
BAB I
PENDAHULUAN................................................................................................... 1
Latar belakang......................................................................................................... 1
Rumusan masalah.................................................................................................... 1
Tujuan....................................................................................................................... 2
BAB II
PEMBAHASAN...................................................................................................... 3
Jual beli..................................................................................................................... 3
Pinjam meminjam.................................................................................................... 6
Sewa menyewa (ijarah)............................................................................................ 11
BAB III
PENUTUP................................................................................................................ 18
Kesimpulan............................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 19
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk
sosial, yakni tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan orang lain
dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Terutama dalam hal muamalah, seperti
jual beli, pinjam meminjam, sewa menyewa hingga urusan utang piutang maupun
usaha- usaha yang lain, baik dalam urusan diri sendiri maupun untuk
kemaslahatan umum.Namun sering kali dalam
kehidupan sehari-hari banyak kita temui kecurangan-kecurangan dalam urusan
muamalah ini, seperti riba yang sangat meresahkan dan merugikan masyarakat.Untuk menjawab segala problema
tersebut, agama memberikan peraturan dan pengajaran yang sebaik-baiknya kepada
kita yang telah diatur sedemikian rupa dan termaktub dalam Al-Qur’an dan
hadits, dan tentunya untuk kita pelajari dengan sebaik-baiknya pula agar
hubungan antar manusia berjalan dengan lancar dan teratur. Oleh karena itu,
dalam makalah ini, sengaja kami bahas mengenai jual beli, pinjam meminjam dan
sewa menyewa karena ketiganya sangat kental dengan kehidupan masyarakat.
B. Rumusan Masalah
·
Apakah
pengertian jual beli,pinjam meminjam dan sewa menyewa menurut islam
·
Apa
hukum dari jual beli,pinjam meminjam dan sewa menyewa
·
Apa
saja syarat-syarat dan rukun dalam jaual beli,pinjam meminjam dan sewa menyewa
·
Apa
hikmah yang dapat kita ambil dari jual beli,pinjam meminjam dan sewa menyewa
C.
Tujuan
·
Untuk
mengetahui pengertian dari jual beli,pinjam meminjam dan sewa menyewa
·
Untuk
mengetahui hukum dari jual beli,pinjam meminjam,dan sewa menyewa
·
Untuk
menjelaskan syarat dan rukun dalam jual beli,pinjam meminjam dan sewa menyewa
·
Untuk
mengambil hikmah dari jual beli,pinjam meminjam dan sewa menyewa
BAB
II
PEMBAHASAN
A. JUAL BELI
1. Pengertian Jual Beli
Jual beli menurut bahasa disebut البيع,
secara bahasa berarti اعطاءشيءفىمقابلةشيء (memberikan sesuatu untuk ditukar
dengan sesuatu).
Adapun menurut istilah syara’ adalah:
مقابلة مال بما ل قابلين للتصرف بايجاب وقبول على
الوجه المأذ ون فيه
“Menukar suatu barang dengan barang (alat
tukar yang syah) dengan ijab qabul dan berdasarkan suka sama suka.”
Di dalam Al-Qur’an juga disebutkan bahwa jual
beli harus dilakukan berdasarkan suka sama suka.
…لاتأكلوااموالكم بينكم با لباطل الا ان تكون تجارة
ان تكون تجارة ان تراض منكم…
Artinya: “…Janganlah kamu makan harta yang
ada di antara kamu dengan jalan batal, melainkan dengan jalan jual beli suka
sama suka….”(QS. An Nisa’: 29)
2. Hukum Jual Beli
Jual beli hukum asalnya jâiz atau mubah/boleh
(halal) berdasarkan dalil dari al-Quran, hadis dan ijma’ para ulama.
…لاتأكلوااموالكم بينكم با لباطل الا ان تكون تجارة
ان تكون تجارة ان تراض منكم…
Artinya: “….janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu….. “ (QS. An Nisa’29)
3.
Syarat Jual Beli
A. Penjual dan Pembeli
1.
Berakal,
agar dia tidak terkecoh. Orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya.
2. Dengan
kehendak sendiri (bukan dipaksa).
3.
Tidak
mubazir (pemboros)
B. Uang dan Benda
yang di beli
1.
Suci.
Barang najis tidak sah dijual dan tidak boleh dijadikan uang untuk dibelikan,
seperti kulit binatang atau bangkai yang belum disamak.
2.
Ada
manfaatnya. Tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Dilarang
pula mengambil tukarannya karena hal itu termasuk dalam arti menyia-nyiakan
(memboroskan) harta yang terlarang.
3.
Barang
itu dapat diserahkan. Tidak sah menjual suatu barang yang tidak dapat
diserahkan kepada yang membeli, misalnya ikan dalam laut, barang rampasan yang
masih berada ditangan yang merampasnya, barang yang sedang dijaminkan, sebab
semua itu mengandung tipu daya (kecohan).
4.
Barang
itu diketahui oleh si penjual dan si pembeli. Zat, bentuk, kadar (ukuran), dan
sifat-sifatnya jelas sehingga antara penjual dan pembeli keduanya tidak saling
kecoh-mengecoh.
4.Rukun Jual Beli
1. akad (ijab Kabul),
2. orang-orang yang berakad (penjual dan
pembeli),
3.
ma’kud alaib (objek akad).
5. Jual Beli Yang Dilarang
a.
Terlarang karena kurang syarat atau rukun
- Jual beli system ijon (belum jelas barangnya)
Jual beli ini dilarang karena barang yang
akan dibeli masih samar.
عن بيع الثما رحتى يبد وصلا حيامتفق عليهعن ابن
مر نهى النبى ص م
“dari Ibnu Umar ra. Nabi saw melarang jual
beli buah-buahansehingga nyata baiknya buah itu”.(Muttafaq ‘alaih)
- Jual beli anak binatang ternak yang masih di
dalam kandungan
Jual beli ini dilarang karena barangnya belum
ada dan tidak tampak juga.
- Jual beli sperma hewan
Jual beli sperma hewan, seperti mengawinkan
seekor domba jantan dengan betina, agar dapat memperoleh turunan.
رواه مسلمعن بيع فضل الماءنهى رسول الله ص معن جابربن
عبدالله قا ل
“Rasulullah saw telah melarang jual beli air
jantan binatang.”(HR.
Muslim).
- Jual beli barang yang belum dimiliki
رواه احموالبيهقىم:قال رسول الله ص د لا تبيعن شيأ
استريته حتى تقبضه
Artinya: “Nabi saw telah bersabda
janganlah engkau menjual sesuatu yang baru saja engkau beli sehingga engkau
menerima (memegangbarang itu)”. (HR. Ahmad Baihaqi).
b. Jual beli yang sah tetapi terlarang
- Jual beli pada
waktu khutbah/sholat Jum’at bagi laki-laki.
- Jual beli dengan
niat untuk ditimbun saat masyarakat membutuhkan
قال رسول الله ص م لا يختكر الا خا طىءمسلم
“Rasulullah saw
telah bersabda tidaklah seseorang menimbun barang kecuali orang yang durhaka”.
(HR. Muslim).
-
Jual beli yang tidak mengetahui harga
pasar
-
Jual beli yang masih dalam tawaran
orang lain
- Jual beli untuk kemaksiatan
6. Hikmah Jual Beli
Allah mensyari’atkan jual beli sebagai
penberian keluangan dan keleluasaan dari-NYA untuk hamba-hamba-NYA, yang
membawa hikmah bagi manusia diantaranya:
1.
Jual
beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang menghargai hak
milik orang lain.
2.
Penjual
dan pembeli dapat memenuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan.
3.
Dapat
menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram atau secara
bathil.
4.
Penjual
dan pembeli sama-sama mendapat rizki Allah
5.
Menumbuhkan
ketentraman dan kebahagiaan
B. PINJAM MEMINJAM
1. Pengertian
Ariyyah atau ariyah nama barang pinjaman dan
nama suatu aqad yang berupa memberikan wewenang untuk mengambil manfaat sesuatu
yang halal diambil manfaatnya dalam keadaan masih tetap/utuh barangnya untuk
dikembalikan lagi.
Kata عارية
BERASAL DARI عار
Yang artinya “pergi dan datang kembali dengan
cepat”. Ariyah pada asal hukumnya adalah SUNNAH, karena sangat dirasa
keperluannya.Dan terkadang hukumnya bisa menjadi wajib, seperti misalnya
meminjamkan pakaian yang disitulah syahnya sholat , meminjamkan sesuatu
penyelamat orang tenggelam, atau meminjamkan alat menyembelih binatang
dimuliakan syara’ yang dikhawatirkan ( segera ) mati.
Barang pinjaman kalau hilang atau rusak,
menjadi tanggungan orang yang meminjam dengan harga pada hari rusaknya.
Pinjam ini wajib
dikembalikan kepada yang meminjamkan, sabda Nabi Saw:
عن ابى هريره رضى الله عنه قا ل : قا ل ر سو ل الله صلى الله عليه وسلم : ا
د الا ما نة الا من ائتمنك , ولا تخن من خا نك.
( رواه الترمزي و ابو
داود )
Artinya : Dari
Abu Hurairah R.A : Bahwasanya Rasulullah SAW. Bersabda: “Tunaikanlah /
Kembalikanlah barang amanat itu kepada orang yang telah memberikan amanat
kepadamu, dan janganlah kamu menyalahi janji (berkhianat) walaupun kepada orang
yang pernah menyalahi janji kepadamu”. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
2. Rukun dan Syarat Pinjam Meminjam
a.
Rukun
Ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang meminjamkan barang.
Sedangkan qabul bukan merupakan rukun Ariyah. Menurut Ulama Syafi’iyah, dalam
Ariyah disyaratkan adanya lafazh shighat akad, yakni ucapan ijab dan qabul dari
peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab memanfaatkan
milik barang yang bergantung pada adanya izin.
Secara Umum jumhur
Ulama fiqh menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat, yaitu:
-
Mu’ir (peminjam)
-
Musta’ir (yang meminjamkan)
-
Mu’ar (barang yang dipinjam)
-
Shighat, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik
dengan ucapan maupun dengan perbuatan.
b.
Syarat
-
Syarat orang yang meminjam dan yang meminjamkan ialah baliqh, berakal dan
melakukannya dengan kemauannya.
-
Manfaat barang yang dipinjamkan harus merupakan milik orang yang meminjamkan.
Oleh karena itu orang yang meminjamkan sesuatu barang tidak boleh meminjamkan
barang itu kepada orang lain.
-
Orang yang meminjam suatu barang, hanya dibolehkan mengambil manfaatnya menurut
apa yang diijinkan oleh orang yang meminjamkan.
-
Mengembalikan barang pinjaman, kalau dibutuhkkan ongkos, maka ongkosnya atas
tanggungan peminjam.
-
Pinjaman yang dibatasi waktunya, setelah habis waktunya, si peminjam wajib
segera mengembalikannya. Pengambilan manfaat setelah lewat batas waktu yang
ditentukan, adalah diluar ikatan pinjam meminjam. Hilang atau rusaknya barang
yang dipinjamkan penuh atas tanggungan yang meminjamkan.
-
Dan dalam hal Ulama
fiqh mensyaratkan dalam akad ariyah sebagai berikut:
a.
Mu’ir berakal sehat
Dengan demikian,
orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjamkan barang.
Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan sudah baligh. Sedangkan ulama lainnya
menambahkan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang dapat berbuat
kebaikan sekehendaknya, tanpa dipaksa, bukan anak kecil, bukan orang bodoh, dan
bukan orang yang sedang pailit (bangkrut).
b. Pemegangan barang oleh peminjam
Ariyah adalah
transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah memegang barang adalah
peminjam, seperti halnya dalam hibah.
c.
Barang (musta’ar) dapat dimanfaatkan tanpa
merusak zatnya jika musta’ar tidak dapat dimanfaatkan, akad tidak sah.
Para Ulama telah
menetapkan bahwa ariyah dibolehkan terhadap setiap barang yang dapat diambil
manfaatnya dan tanpa merusak zatnya, seperti meminjamkan tanah, pakaian,
binatang, dan lain-lain.
a) Meminjamkan sesuatu hukumnya sunnat, malah
terkadang menjadi wajib, seperti meminjamkan sampan untuk menyelamatkan orang
yang akan hanyut tenggelam, dan kadang-kadang haram meminjamkan, seperti
meminjamkan rumah untuk tempat maksiat dan sebagainya.
b) Orang yang meminjamkan sewaktu-waktu boleh
meminta kembali barang yang dipinjamkan.
c) Sesudah yang meminjam mengetahui, bahwa yang
meminjamkan sudah memutuskan aqadnya, dia tidak boleh memakai barang yang
dipinjamkannya.
d) Pinjam-meminjam tidak berlaku (batal) dengan
matinya atau gilanya salah seorang dari peminjam atau yang meminjamkan.
Menurut kebiasaan (urf), Ariyyah dapat
diartikan dengan dua cara, yaitu secara hakikat
dan secara majaz.
a)
Secara hakikat
Ariyyah adalah meminjamkan barangyang dapat
diambil manfaatnya tanpa merusak zat nya. Menurut Malikiyah dan Hanafitah,
hukumnya adalah manfaat bagi peminjam tanpa ada pengganti apapun, atau peminjam
memiliki sesuatu yang semakna dengan manfaat menurut kebiasaan.[1]
Al-Khurkhi, ulama Syafi’iyah, dan Hanabilah
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ariyyah
adalah kebolehan untuk mengambil manfaat dari suatu benda.
Dari perbedaan pendapat di atas, dapat
ditetapkan bahwa menurut golongan pertama, barang yang dipinjam (Musta’ar) boleh dipinjamkan kepada orang
lain, menurut Imam Malik, sekalipun tidak diizinkan oleh pemiliknya asalkan
digunakan sesuai fungsinya. Akan tetapi, ulama Malikyah melarangnya jika
peminjam tidak mengizinkannya.
b)
Secara Majazi
Ariyyah secara majazi adalah pinjam-meminjam
benda-benda yang berkaitan dengan takaran, timbangan, hitungan, dan lain-lain,
seperti telur, uang, dan segala benda yang dapat diambil manfaatny, tanpa
merusak zatnya. Ariyyah pada benda-benda tersebut harus diganti dengan benda
yang serupa atau senilai. Dengan demikian, walaupun termasuk ariyyah, tetapi
merupakan ariyyah secara majazi, sebab tidak mungkin dapat dimanfaatkan tanpa
merusaknya. Oleh karena itu, sama saja antara memiliki kemanfaatan dan
kebolehan intuk memanfaatkannya.
D. Hak Memanfaatkan Barang Pinjaman (Musta’ar)
Jumhur ulama selain Hanafiah berpendapat
bahwa musta’ar dapat mengambil
manfaat barang sesuai dengan izin mu’ir
(orang yang memberi pinjaman).
Adapun ulama Hanafiah berpendapat bahwa
kewenangan yang dimiliki oleh musta’ar
bergantung pada jenis pinjaman, apakah mu’ir meminjamkannya secara terikat (muqayyad) atau mutlak.
a.
Ariyaah mutlak
Ariyyah mutlak, yaitu pinjam-meminjam barang
yang dalam akadnya (transaksi) tidak dijelaskan persyaratan apapun, seperti
apakah pemanfaatannya hanya untuk peminjam saja atau dibolehkan orang lain,
atau tidak dijelaskan cara penggunaannya. Sebaliknya, jika penggunaannya tidak
sesuai kebiasaan dan barang pinjaman rusak, peminjam harus bertanggung jawab.
b. Ariyyah
muqayyad
Ariyah muqayyad adalah meminjamkan suatu
barang yang dibatasi dari segi waktu dan kemanfatannya, baik disyaratkan pada
keduanya maupun salah satunya. Hukumnya, peminjam harus sedapat mungkin untuk
menjaga batasan tersebut. Hal ini karena asal dari batas adalah menaati
batasan, kecuali ada kesulitan yang menyebabkan peminjam tidak dapat mengambil
manfaat barang tersebut. Dengan demikian, dibolehkan melanggar batasan tersebut
apabila kesulitan untuk memanfaatkannya.
c.
Sifat ariyyah
Ulama Hanafiah, Syafi’iyah, dan Hanabilah
berpendapat bahwa hak kepemilikan peminjam atas barang adalah hak tidak lazim,
sebab merupakan kepemilikan yang tidak ada penggantinya. Pada hibah, misalnya
bisa saja mu’ir (orang yang
meminjamkan) mengambil barang yang dipinjamkannya kapan saja, sebagaimana
peminjam dapat mengembalikannya kapan saja, baik pinjam-peminjam itu bersifat
mutlak atau dibatasi waktu, kecuali ada sebab-sebab tertentu, yang akan
menimbulkan kemadaratan saat pengembalian barang tersebut seperti kalau
dikembalikan kepada waktu yang telah ditentukan barang akan rusak atau seperti
orang-orang yang meminjam tanah untuk mengubur mayat yang dihormati, maka mu’ir
tidak boleh meminta kembali tanah tersebut dan sipeminjam pun tidak boleh
mengembalikannya sebelum jenazah berubah menjadi tanah.[1]
Alasan mereka aantara lain bahwa ariyyah
adalah transaksi yang dibolehkan, sebagai mana sabda nabi.
“pemberian
itu ditolak sedang pinjam-meminjam adalah (suatu akad) yang dikembalikan” (HR.
Ibnu ‘Addy)
Menurut pendapat yang paling masyhur dari
ulama Malikiyah, mu’ir tidak dapat meminta barang yang dipinjamkannya sebelum
peminjam dapat mengambil manfaatnya.
d.
Ihwal Ariyyah, Apakah Tanggungan atau Amanat
Ulama Hanafiah berpendapat bahwa barang
pinjaman itu merupakan amanat bagi peminjam, baik dipakai maupun tidak. Dengan
demikian, dia tidak menanggung barang tersebut jika terjadi kerusakan, seperti
juga dalam sewa-menyewa atau barang titipan, kecuali bila kerusakan tersebut
disengaja atau disebabkan kelalaian. Hal ini karena tanggungan tidak dibebankan
kepada mereka yang bukan pelaku. Selain itu, peminjam pun dikategorikan sebagai
orang yang menjaga milik orang, hal itu termasuk kebaikan bagi pemilik.
C. SEWA MENYEWA( IJARAH)
1. Pengertian
Menurut etimologi, ijarah
adalah بيع المنفعة (menjual manfaat).Ijarah merupakan salah satu
bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan manusia, seperti
sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain. Demikian pula
artinya menurut terminologi syara’. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini akan
dikemukakan beberapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih:
a. Ulama Hanafiyah:
Artinya:
“Akad
atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
b. Ulama
Asy-Syafi’iyah:
عقد على منفعة مقصودة معلومة مباحة قابلة للبذل والاءباحة بعوض معلوم.
Artinya:
“Akad
atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta
menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
c. Ulama Malikiyah
dan Hanabilah:
تمليك منافع شىء مباحة مدة معلومة بعوض.
Artinya:
“Menjadikan
milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.”
Ada yang
menterjemahkan, ijarah sebagai jual beli jasa (upah-mengupah), yakni
mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang menterjemahkan sewa-menyewa,
yakni mengambil manfaat dari barang.
Jadi ijarah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu ijarah atas jasa dan ijarah
atas benda.
Jumhur ulama fiqh
berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah
manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu, mereka melarang menyewakan pohon
untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya,
dan lain-lain, sebab semua itu bukan manfaatnya, tetapi bendanya. Namun
sebagian ulama memperbolehkan mengambil upah mengajar Al-Qur’an dan ilmu
pengetahuan yang bersangkutan dengan agama, sekedar untuk memenuhi kaperluan
hidup, karena mengajar itu telah memakai waktu yang seharusnya dapat mereka
gunakan untuk pekerjaan mereka yang lain.
2. Landasan Syara’ atau Dasar Hukum Ijarah.
Hampir semua ulama
fiqh sepakat bahwa ijarah disyari’atkan dalam Islam. Namun ada sebagian yang
tidak menyepakati dengan alasan bahwa ijarah adalah jual-beli barang yang tidak
dapat dipegang (tidak ada). Sesuatu yang tidak ada tidak dapat dikategorikan
jual beli.
Landasan ijarah
menurut jumhur ulama adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
Artinya:
Jika mereka
menyusukan (anak-anakmu)untukmu, maka
berikanlah mereka upahnya.” (QS.
Ath-Thalaq: 6)
b. As-Sunnah
Artinya:
“Berikanlah
upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibn Majah dari
Ibn Umar)
c. Ijma’
Umat Islam pada masa
sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi
manusia.
3. Rukun Ijarah
Menurut ulama
Hanafiyah, rukun ijarah itu hanya satu,
yaitu ijab (ungkapan menyewakan) dan qabul (persetujuan terhadap sewa-menyewa),
antara lain dengan menggunakan kalimat: al-ijarah, al-isti’jar, al-ikhtira’,
dan al-ikra. Adapun menurut jumhur ulama mengatakan bahwa rukun ijarah
ada empat (4), yaitu:
1.
‘Aqid (orang yang berakad)
2.
Shighat akad
3.
Ujrah (upah)
4.
Manfaat
a.
Manfaat yang berharga
b.
Keadaan manfaat dapat diberikan oleh yang mempersewakan.
c.
Diketahui kadarnya, dengan jangka waktu seperti menyewa rumah satu bulan atau
satu tahun, atau diketahui dengan pekerjaan, seperti menyewa mobil dari Jakarta
sampai ke Bogor.
Ulama Hanafiyah
menyatakan bahwa orang yang berakad, sewa/imbalan, dan manfaat, termasuk
syarat-syarat ijarah, bukan rukunnya.[1]
4. Syarat-Syarat Ijarah
a.
Al-Muta’aqidain (kedua orang yang berakad). [1]
§ Menurut ulama
Syafi’iyah dan Hanabilah: baligh dan berakal.
§ Menurut ulama
Hanafiyah dan Malikiyah: tidak harus mencapai baligh, anak yang telah mumayyiz
pun boleh melakukan akad ijarah dan dianggap sah apabila disetujui oleh
walinya.
b.
Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaan untuk melakukan akad ijarah.
c.
Manfaat yang menjadi obyek ijarah harus diketahui secara sempurna, sehingga
tidak muncul perselisihan dikemudian hari.
d. Obyek
ijarah boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat.
e. Obyek
ijarah adalah sesuatu yang dihalalkan oleh syara’.
f. Yang
disewakan adalah bukan suatu kewajiban bagi penyewa.
g. Objek
ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan, seperti rumah, mobil, dan
hewan tunggangan.
h. Upah/sewa
dalam akad ijarah harus jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai harta.
i. Ulama
Hanafiyah mengatakan sewa/upah itu tidak sejenis dengan manfaat yang disewa.
5. Sifat Ijarah
Para ulama fiqh
berbeda pendapat tentang sifat ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah
pihak atau tidak. Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa akad ijarah itu mengikat,
tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu
pihak yang berakad, seperti salah satu pihak wafat atau kehilangan kecakapan
bertindak hukum. Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa akad ijarah itu
bersifat mengikat, kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan.
Akibat perbedaan pendapat ini terlihat dalam kasus apabil;a salah seorang
meninggal dunia, maka akad ijarah batal, karena manfaat tidak boleh diwariskan.
Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa manfaat itu boleh diwariskan karena
termasuk harta (al-mal). Oleh sebab itu, kematian salah satu pihak yang berakad
tidak membatalakn akad ijarah.
6. Hukum Ijarah
Hukum ijarah shahih
adalah tetapnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau
orang yang menyewakan ma’qud ‘alaih, sebab ijarah termasuk jual beli
pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan.
Adapun hukum ijarah
rusak, menerut ulama Hanafiyah, jika penyewa telah mendapatkan manfaat tetapi
orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar lebih kecil dari kesepakatan
pada waktu akad. Ini bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat. Akan tetapi,
jika kerusakan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis pekerjaan perjanjiannya,
upah harus diberikan semestinya.
Jafar dan ulama
Syafi’iyah berpendapat bahwa ijarah fasid sama dengan jual beli fasid, yakni
harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh barang sewaan.
7. Macam-Macam Ijarah
a.
Ijarah yang bersifat manfaat, umpamanya adalah
sewa-menyewa rumah, toko, kendaraan, pakaian, dan pehiasan. Apabila manfaat itu
merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk dipergunakan, maka para ulama
sepakat menyatakan boleh dijadikan objek sewa-menyewa, jadi penyewaan barang-barang
tersebut tergantung pada kemanfaatannya.
b.
Ijarah yang bersifat pekerjaan (jasa) ialah dengan cara
mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Menurut para ulama
ijarah ini hukumnya boleh apabila pekerjaan itu jelas, seperti buruh bangunan,
tukang jahit, buruh pabrik, tukang sepatu dan lain-lain. Ijarah ini ada yang
bersifat pribadi seperti menggaji pembantu rumah tangga, dan ada yang
bersifat serikat, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang menjual
jasanya untuk kepentingan orang banyak, seperti tukang sepatu, tukang jahit dan
lain-lain. Kedua bentuk ijarah ini menurut para ulama fiqh hukumnya boleh.
8. Perbedaan Diantara Yang Akad
Seringkali terjadi perbedaan
pendapat diantara kedua pihak yang melakukan akad (sewa-menyewa) tentang jumlah
upah yang harus diterima atau diberikan padahal ijarah dikategorikan shahih,
baik sebelum jasa diberikan maupun sesudah jasa diberikan.
Apabila terjadi
perbedaan sebelum diterimanya jasa, keduanya harus bersumpah, sebagaimana
disebutkan pada hadist Rasulullah s.a.w.:
اذا اختلف المتبايعان تحالفا وترادا. (رواه اصحاب السنن الاربعة واحمد
والشافع)
Artinya:
“Jika
terjadi perbedaan di antar orang yang berjual beli, keduanya harus saling
bersumpah dan mengembalikan.” (HR. Ashab Sunan Al-Arba’ah, Ahmad, dan Imam
Syafi’I)
Hadist tersebut
meskipun berkaitan dengan jual-beli, juga relevan dengan ijarah. Dengan
demikian, jika keduanya bersumpah, ijarah menjadi batal.
9. Berakhirnya Akad ijarah
Para ulama fiqh
menyatakan bahwa akad ijarah akan berakhir apabila:
Ø Tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijarah
telah berakhir.
Ø Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya seorang yang
berakad, karena kad ijarah, menurut mereka, tidak boleh diwariskan. Sedangkan
menurut jumhur ulama, akad ijarahtidak batal dengan wafatnya salah seorang
berakad, karena manfaat, menurut mereka, boleh diwariskan dan ijaraha sama denganjual
beli, yaitu mengikat kedua belah pihak yang berakad.
Ø Objek hilang atau musnah, seperti rumah
terbakar.
Ø Menurut ulama Hanafiyah, apabila ada uzur dari
salah satu pihak, seperti rumah yang disewakan disita negara karena terkait
utang yang banyak, maka akad iajarah batal. Uzur-uzur yang dapat membatalkan
akad ijarah itu, menurut ulama Hanafiyah
adalah salah satu pihak jatuh muflis, dan berpindah tempatnya penyewa,
misalnya, seorang digaji untuk menggali sumur disuatu desa, sebelum sumur itu
selesai, penduduk desa itu pindah kedesa lain. Akan tetapi, menurut jumhur
ulama, uzur yamng boleh mebatalkan akad ijarah itu hanyalah apabila objeknya
mengandung cacat atau manfaatnya yang dituju dalam akad itu hilang, seperti
kebakaran dan dilanda banjir.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
jual
beli menurut istilah adalah tukar menukar sesuatu barang dengan barang lain
atas dasar suka sama suka dengan syarat dan rukun tertentu.Hukum jual beli adalah jaiz/mubah
(dibolehkan)
Pinjam meminjam ialah membolehkan
kepada orang lain mengambil manfaat sesuatu yang halal untuk mengambil manfaat
nya dengan tidak merusak zat-Nya, dan dikembalikan setelah diambil manfaatnya
dalam keadaan tetap tidak rusak zat-Nya. pinjam meminjam itu pada hakikatnya
boleh-boleh saja, asalkan tidak pinjam meminjam dalam berbuat kemaksiatan dan
dosa.Barang pinjaman kalau hilang atau rusak, menjadi tanggungan orang yang
meminjam dengan harga pada hari rusaknya.
Ijarah adalah salah
satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan manusia, seperti
sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain dengan ada
imbalannya atau upahnya.
Dalam memaknai ijarah
itu sendiri banyak perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Namun
intinya mereka menyetujui adanya ijarah setelah memenuhi ketentuan-ketentuan
yang telah ditetapkan oleh masing-masing para ulama, sehingga meskipun terjadi
perbedaan didalamnya selalu ada pemecahan persoalan terhadap
permasalahan-permasalan yang timbul dikarenakan hal-hal yang terkait dengan
ijarah itu sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
BUKU
·
Drs.Hendi
Suhendi,M.Si. Fiqh Muamalah. Jakarta 2002.hal: 34-35
·
Drs.Ghufron
A.Mas’adi,M.Ag.Fiqih Muamalah Kontekstual. Jakarta 2002. hal: 53-66
·
Drs.Ghufroh
A.Mas’adi,M.Ag.Fiqih Muamalah Kontekstual.Jakarta 2002. hal: 75-108
·
Prof.DR.Shalih
Bin Ghanim As-Sadlan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid. Intisari Fiqih Islam.
Surabaya 2007. hal: 145-161
WEB
·
http://materi-kuliah0420.blogspot.co.id/2015/04/makalah-fiqh-muamalah-tentang-jual-beli.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar